Penulis : Muthmainnah
(Mahasiswa Program Studi Bahasa Arab)
Al-Qur’an adalah wahyu, petunjuk, teks yang otoritas sumbernya dari Allah SWT. Cuman persoalannya kadang manusia menilai sebuah pemahaman itu sebagai Al-Qur’an atau bahasa lainnya kadang hasil pemahaman atau penafsiran ulama kemudian dikaitkan dengan kesaklaran teks tadi. Bisa dikatakan bahwa teks itu saklar, Al-Qur’an itu tetap wahyu, tidak ada keraguan tapi ketika bicara masalah tentang pemahaman sudah bersifat relatif, jadi pemahaman itu biasa benar biasa juga keliru dalam konteks lain.
Sebagaimana ungkapan Abdul Karim Suraus dalam salah satu karyanya Al-qath wa al-bastu bi Syari’ah bahwa salah satu problema Islam di era Modern ini adalah ketidakmampuan membedakan Nash dan tafsir, mereka tidak mampu membedakan yang mana teks Al-Qur’an dan mana pemahamannya. Nah ketika ini tidak bisa dibedakan maka ini akan fatal karena kadang umat Islam kemudian melabelkan sesuatu melekat pada kesaklaran teks sehingga pemahaman itu seolah-olah dianggap bagian dari Al-Qur’an, seolah-olah melekat dengan kemukjizatannya kemudian dipertahankan. Kapan ada pendapat lain yang menolak hal itu maka dia akan mati-matian menganggap bahwa pemahaman itu adalah Al-Qur’an. Nah inilah yang di kritik oleh Abdul Karim Suraus ia mengatakan bahwa kita sepakat bahwa Al-Qur’an adalah wahyu namun pada sisi penafsirannya tidak demikian penafsiran adalah usaha ijtihadi, penafsiran bersifat relatif dapat berubah sesuai dengan konteksnya.
Lebih lanjut ada satu istilah yang di populerkan oleh Bashahiron yang menyatakan bahwa penafsiran Al-Qur’an itu tidak lepas dari cakrawala dan wawasan si pemaham, jadi siapa yang menafsirkan Al-Qur’an tidak objektif terhadap Al-Qur’annya tetapi juga dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh lain. Nah ada pendapat seorang ilmuan menyebutkan ada tiga hal terpenting kaitannya dengan hal ini, yang pertama perjalanan atau biografi mufassir, yang kedua tujuan atau untuk menjawab problematika masyarakat dalam konteks spiritual atau lainnya, dan ketiga yakni dengan cara menggunakan pendekatan bahasa atau dengan pendekatan seperti di awal dikatakan atau menggunakan filosofis/filsafat ataukah tasawuf dan seterusnya. Ini yang harus diperhatikan ketika membaca sumber-sumber literatur tafsir karena dari awal kita sudah klaim bahwa para penafsir berbicara sesuai dengan pemahaman mereka. Oleh karenanya Nasr hanif Abu Zaid dalam bukunya dia mengkritik begini; kecenderungan para cendekiawan muslim ketika berbicara tentang penafsiran Al-Qur’an mereka berulang-ulang mengutip pendapat para ulama. Menurut beliau mengapa umat Islam ini di setiap masa hanya bisa menafsirkan Al-Qur’an sesuai konteks mereka, sedangkan kita punya konteks sosial sendiri, mengapa kemudian kita tidak mengadopsi metodologinya bukan hasilnya, ini akan berbeda, beda hasil penafsiran dengan metode penafsiran. Kita lebih cenderung mengutip hasilnya tetapi tidak melihat bagaimana para ulama ini menafsirkan, bagaimana cara menafsirkan, kemudian metodologi inilah yang harus ditarik ke masa sekarang untuk memahami konteks masyarakat kita sendiri.
Kemudian apa sih interaksi Al-Qur’an itu?
Interaksi adalah adanya sebuah dialog antara si A dan si B, bagaimana masyarakat berdialog dengan Al-Qur’an begitupun sebaliknya, kalau kita melihat sejarah turunnya Al-Qur’an, Al-Qur’an itu turun berangsur-angsur, para ulama kemudian berpendapat, Imam At-thabari menyatakan dalam Q.S Al-Isra’ ayat 106
وقرانا فرقناه لتقراه على الناس…
Imam At-thabari kemudian mengkaloborasikan kata “faraqna”, beliau menyebutkan ada dua bacaan kata “faraqna” terkait masalah turunnya Al-Qur’an. Pertama kata “faraqna” tanpa tasydid maknanya adalah Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur bertujuan untuk menyesuaikan konteks masyarakat dengan menawarkan hukum, kemudian menjelaskan problem masyarakat dengan secara spesifik menawarkan solusi terhadap problematika yang dihadapi oleh masyarakat, kemudian riwayat lain dari Abdullah Ibnu Abbas, beliau membaca dengan tasydid “farraqna” bermakna bahwa Al-Qur’an itu turunnya bertahap, dia berdialog dengan konteks, bukan berarti Allah tidak akan tahu apa yang terjadi, tapi Al-Qur’an ini sengaja kemudian dirancang untuk menjadi bagian dialog dari konteks masyarakat itu sendiri. Maka dalam menyampaikan masalah agama tidak dari satu sisi saja, dan tidak memahami konteks masyarakat itu sendiri. Al-Qur’an secara historis telah memulai untuk berinteraksi. Terkait interaksi Al-Qur’an sendiri, ada tiga bagian yakni;
- Al-Qur’an berinteraksi dengan melalui bacaan
Salah satu interaksi Al-Qur’an kepada masyarakat yakni melalui bacaannya. Ini adalah sisi kemukjizatan dari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an tidak hanya menuntut umat untuk memahami, untuk mengamalkannya tetapi dia mulai dari hal yang terendah yakni baca. Maka tidak heran banyak kita temukan riwayat hadis yang menawarkan banyak pahala dari membaca Al-Qur’an, dizaman Nabi sudah dirancang untuk seluruh umat Islam bukan hanya sekedar orang Arab namun juga bagi non Arab. Kita bisa lihat bagaimana mereka bisa berinteraksi dengan Al-Qur’an, mereka ketika membaca Al-Qur’an ada kepuasan tersendiri, mereka merasa sedang berdialog padahal tidak paham apa maknanya. Nah ini yang disebut dengan kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi reaksi bacaan Al-Qur’an. Interaksi ini kemudian berkembang, mulai dari makharajul huruf, nadzam, nilai-nilai seninya dan seterusnya.
- Interaksi dengan menghafal Al-Qur’an
Suatu penomena menarik bahwa Al-Qur’an ini sampai ke masyarakat melalui lisan Arab, diterima oleh masyarakat non Arab, tanpa memahami maknanya dan luar biasanya mereka termotivasi untuk menghafal ayat-ayatnya. Bahkan di Indonesia sudah tidak terhitung lagi berapa banyak lembaga-lembaga tahfidz, lembaga penghafal Al-Qur’an.
Nah, mengapa ini menjadi interaksi istimewa terhadap Al-Qur’an, hal ini dikarenakan mereka tidak memahami Al-Qur’an tetapi mereka semangat untuk menghafalkannya. Kalau kita melihat dalam Q.S Al-Hijr : 9
أنا نحن نزلنا لذكرى وأنا له لحافظون
Ini tentu kemudian menjadi motivasi buat masyarakat umat Islam bahwa mereka merasa bangga dilibatkan oleh Allah untuk menjaga Al-Qur’an. Setidaknya menjaga keotentikan Al-Qur’an. Imam At-thabari sendiri mengatakan kata “Lahafidzun” mengenai tentang mengapa umat Islam menghafal Al-Qur’an karena itu adalah cara bagi mereka untuk menghindari penyelewengan dalam Al-Qur’an baik secara teks maupun makna.
- Al-Qur’an diterima sebagai simbol tradisi
Al-Qur’an tidak hanya diterima sebagai bacaan atau teks yang dihafalkan tetapi Al-Qur’an juga diterima sebagai simbol tradisi. Makanya di Indonesia banyak kita temukan simbol-simbol Al-Qur’an yang kemudian dijadikan sebagai tradisi masyarakat, misalnya ada ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai jampi-jampi, ada menjadikan sebagai bacaan ruqyah, kemudian menjadikan Al-Qur’an sebagai tamimah, baik mereka baca atau mereka simbolkan dalam huruf kemudian dipajang. Nah ini menarik kalau kita pahami tradisi ini kembali kepada Al-Qur’an atau yang disebut oleh Abdullah Said sebagai tradisi tekstual, maka kita akan memposisikan tradisi ini sebagai hitam putih. Muncullah kemudian kata bid’ah, tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an, dan seterusnya. Mengapa demikian, karena kembali ke problem awal bahwa kecenderungan kita menjadikan diri kita subjek dan masyarakat sebagai objek, maka yang muncul adalah penghakiman atau pandangan satu sisi.
Coba kita gali, tradisi-tradisi ini sudah ada pada masa Nabi, dalam salah satu riwayat dalam shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Abu Zaid al-khudry; pernah suatu ketika sekumpulan sahabat lewat disebuah perkampungan, kemudian kepala suku dari kampung tersebut sakit, ada yang mengatakan bahwa dia dipatuk binatang buas, terkena racunnya. Kemudian penduduk Desa ini bertanya kepada kelompok sahabat ini “ Adakah diantara kalian yang bisa menyembuhkan kepala suku kami?”, maka salah seorang diantara mereka menjawab “Ada”. Kemudian orang ini ketika mengobati atau meruqyah kepala suku tadi secara inisiatif tanpa ada petunjuk dari Nabi sebelumnya dia kemudian membaca al-Fatihah, dan alhasil faktanya dia sembuh. Kemudian kepala suku ini berterima kasih dan di berilah dia kambing, tapi kemudian orang ini tidak mau menerima karena dia merasa ragu menerima kambing ini sebagai upah dari ruqyahnya. Maka dia kemudian melapor kepada Nabi, dia melapor telah terjadi seperti ini,dia mengobati dengan surah al-Fatihah. Rasulullah bertanya: Bagaimana kamu tahu bahwa surah Al-Fatihah bisa menjadi ruqyah?, Kemudian Nabi tersenyum. Artinya bahwa penerimaan Al-Qur’an itu tidak selamanya dipandang sebagai suatu hal yang hitam putih, suatu hal yang bahwa ini benar atau salah. Rasulullah mengenai kasus tersebut, mengenai apakah dia sahabat berhak menerima kambing tersebut?, Beliau mengatakan seandainya saya berada disana maka saya akan meminta bagian pula. Nah ini adalah cara Rasul menjawabnya.
Apa kesimpulan dari kisah ini, bahwasannya Al-Qur’an ini sangat terbuka dan tidak dibatasi oleh kontekstual tertentu melainkan secara kaidah sebagaimana pendapat Quraish Shihab tentang bagaimana kita mengetahui sebuah pemahaman itu sejalan Al-Qur’an dan Sunnah, beliau mengatakan bahwa selama konsep itu mendatangkan kebaikan bagi manusia, tidak bertentangan dengan norma-norma tauhid, dan tidak menimbulkan mudharat bagi masyarakat, maka itu adalah sejalan dengan konsep Al-Qur’an dan Sunnah.
Intinya bahwa berinteraksi dengan Al-Qur’an tidak hanya dengan bacaan, tidak hanya dengan menghafal, tidak pula hanya memahami, tapi juga telah berkembang menjadi tradisi-tradisi yang tidak selamanya itu buruk bagi kita, dan kita tidak bisa mempersempit hal tersebut dengan penafsiran-penafsiran yang bersifat subjektif.